Thursday, June 24, 2010

JAKA TINGKIR

== Asal-usul ==

Nama aslinya adalah '''Mas Karèbèt''', putra [[Ki Ageng Pengging]] atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan [[wayang beber]] dengan dalang Ki Ageng Tingkir.Kedua nama "Ki Ageng" ini bukanlah nama asli tetapi nama sebutan yang terkait dengan asal daerah keduanya. Pengging adalah daerah di wilayah [[Boyolali]] sekarang dan Tingkir merupakan tempat di dekat [[Salatiga]]. Kedua ki ageng ini adalah murid [[Syekh Siti Jenar]]. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian, [[Ki Ageng Pengging]] dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap [[Kesultanan Demak]]. Sebagai pelaksana hukuman ialah [[Sunan Kudus]]. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).

Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah [[Sunan Kalijaga]]. Ia juga berguru pada [[Ki Ageng Sela]], dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, [[Ki Juru Martani]], [[Ki Ageng Pemanahan]], dan Ki Panjawi.

Silsilah Jaka Tingkir :

Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir


== Mengabdi ke Demak ==
''[[Babad Tanah Jawi]]'' selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota [[Demak]]. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat [[Masjid Demak]] berpangkat ''lurah ganjur''. Jaka Tingkir pandai menarik simpati [[Sultan Trenggana]] sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit [[Demak]] berpangkat ''lurah wiratamtama''.

Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan SADAK KINANG. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari [[Demak]].

Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro(saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke [[Demak]] bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.

Rombongan Jaka Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman [[buaya]] menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.

Saat itu [[Sultan Trenggana]] sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan Sultan di mana tidak ada prajurit yang mampu melukainya.

Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, [[Sultan Trenggana]] mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.

Kisah dalam naskah-naskah babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di [[Demak]], dan ia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan simpati Sultan kembali.

== Menjadi Sultan Pajang ==
Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam [[Babad Tanah Jawi]]. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati [[Pajang]] bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempa, putri [[Sultan Trenggana]].

Sepeninggal [[Sultan Trenggana]] tahun 1546, putranya yang bergelar [[Sunan Prawoto]] seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh [[Arya Penangsang]] (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan sholat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan adik Kandung Sultan Trenggono sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati [[Jepara]].

Kemudian [[Aryo Penangsang]] mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di [[Pajang]], tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan [[Arya Penangsang]].

Sepeninggal suaminya, [[Ratu Kalinyamat]] (adik [[Sunan Prawoto]]) mendesak Adiwijaya agar menumpas [[Aryo Penangsang]] karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi [[Aryo Penangsang]] secara langsung karena sama-sama anggota keluarga [[Demak]] dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.

Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh [[Aryo Penangsang]] akan mendapatkan tanah [[Pati]] dan mentaok/[[Mataram]] sebagai hadiah.

Sayembara diikuti kedua cucu [[Ki Ageng Sela]], yaitu [[Ki Ageng Pemanahan]] dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, [[Ki Juru Martani]] (kakak ipar [[Ki Ageng Pemanahan]]) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan [[Arya Penangsang]] setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.

Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke [[Pajang]] dengan Adiwijaya sebagai sultan pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Suan Prawoto yang menjadi Adipatinya

Sultan Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.

== Sumpah setia Ki Ageng Mataram ==
Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah [[Pati]] dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, [[Ki Ageng Pemanahan]] masih menunggu karena seolah-olah Sultan Adiwijaya menunda penyerahan tanah [[Mataram]].

Sampai tahun 1556, tanah [[Mataram]] masih ditahan Adiwijaya. [[Ki Ageng Pemanahan]] segan untuk meminta. [[Sunan Kalijaga]] selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan [[Sunan Prapen]] bahwa di [[Mataram]] akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran [[Pajang]]. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi sultan usai kematian [[Arya Penangsang]].

[[Sunan Kalijaga]] meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, [[Ki Ageng Pemanahan]] juga diwajibkan bersumpah setia kepada [[Pajang]]. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah [[Mataram]] pada kakak angkatnya itu.

Tanah [[Mataram]] adalah bekas kerajaan kuno, bernama [[Kerajaan Mataram]] yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. [[Ki Ageng Pemanahan]] sekeluarga, termasuk [[Ki Juru Martani]], membuka hutan tersebut menjadi desa [[Mataram]]. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. [[Ki Ageng Pemanahan]] yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke [[Pajang]] secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.

== Menundukkan Jawa Timur ==
Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah [[Jawa Tengah]] saja, karena sepeninggal [[Sultan Trenggana]], banyak daerah bawahan [[Demak]] yang melepaskan diri.

Negeri-negeri di [[Jawa Timur]] yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati [[Surabaya]]. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu [[Pajang]], [[Madura]], dan [[Blambangan]].

Pada tahun 1568 [[Sunan Prapen]] penguasa [[Giri Kedaton]] menjadi mediator pertemuan antara Sultan Adiwijaya dengan para adipati Bang Wetan. [[Sunan Prapen]] berhasil meyakinkan para adipati sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan [[Kesultanan Pajang]] di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.

Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan [[Madura]] setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.

Dalam pertemuan tahun 1568 itu, [[Sunan Prapen]] untuk pertama kalinya berjumpa dengan [[Ki Ageng Pemanahan]] dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa [[Pajang]] akan ditaklukkan [[Mataram]] melalui keturunan Ki Ageng tersebut.

Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.


== Pemberontakan Sutawijaya ==
[[Sutawijaya]] adalah putra [[Ki Ageng Pemanahan]] yang juga menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, [[Sutawijaya]] menjadi penguasa baru di [[Mataram]], dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.

Waktu setahun berlalu dan [[Sutawijaya]] tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan [[Mataram]]. Mereka menemukan [[Sutawijaya]] bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.

Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan [[Mataram]] semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan [[Sutawijaya]]. Kali ini yang berangkat adalah [[Pangeran Benawa]] (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati [[Tuban]]), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh [[Sutawijaya]]. Di tengah keramaian pesta, putra sulung [[Sutawijaya]] yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit [[Tuban]] yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan [[Sutawijaya]] sekeluarga.

Maka sesampainya di [[Pajang]], Arya Pamalad melaporkan keburukan [[Sutawijaya]], sedangkan [[Pangeran Benawa]] menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.

Pada tahun 1582 seorang keponakan [[Sutawijaya]] yang tinggal di [[Pajang]], bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.

Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan [[Sutawijaya]] meminta bantuan ke [[Mataram]]. [[Sutawijaya]] pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke [[Semarang]].

== Kematian ==
Perbuatan [[Sutawijaya]] itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang [[Mataram]]. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan [[Pajang]] bermarkas di [[Prambanan]] dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar [[Gunung Merapi]] tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan [[Pajang]] yang berperang dekat gunung tersebut.

Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam [[Sunan Tembayat]] namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.

Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung [[gajah]] tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di [[Pajang]], datang makhluk halus anak buah [[Sutawijaya]] bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.

Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci [[Sutawijaya]], karena perang antara [[Pajang]] dan [[Mataram]] diyakininya sebagai takdir. Selain itu, [[Sutawijaya]] sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.

Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.

== Pengganti ==
Sultan Adiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan [[Arya Pangiri]] bupati [[Demak]]. Arya Pangiri sebenarnya adalah anak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang menggantikan Sultan Trenggono menjadi Raja Demak.

[[Arya Pangiri]] didukung Panembahan Kudus (pengganti [[Sunan Kudus]]) untuk menjadi raja. [[Pangeran Benawa]] sang [[putra mahkota]] disingkirkan menjadi bupati Jipang. [[Arya Pangiri]] pun menjadi raja baru di [[Pajang]], bergelar Sultan Ngawantipura.

Sumber dari wikipedia

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bahaya yang baik. Anda sopan kami pun segan.