Thursday, June 24, 2010

JAKA TINGKIR

== Asal-usul ==

Nama aslinya adalah '''Mas Karèbèt''', putra [[Ki Ageng Pengging]] atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan [[wayang beber]] dengan dalang Ki Ageng Tingkir.Kedua nama "Ki Ageng" ini bukanlah nama asli tetapi nama sebutan yang terkait dengan asal daerah keduanya. Pengging adalah daerah di wilayah [[Boyolali]] sekarang dan Tingkir merupakan tempat di dekat [[Salatiga]]. Kedua ki ageng ini adalah murid [[Syekh Siti Jenar]]. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian, [[Ki Ageng Pengging]] dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap [[Kesultanan Demak]]. Sebagai pelaksana hukuman ialah [[Sunan Kudus]]. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).

Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah [[Sunan Kalijaga]]. Ia juga berguru pada [[Ki Ageng Sela]], dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, [[Ki Juru Martani]], [[Ki Ageng Pemanahan]], dan Ki Panjawi.

Silsilah Jaka Tingkir :

Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir


== Mengabdi ke Demak ==
''[[Babad Tanah Jawi]]'' selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota [[Demak]]. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat [[Masjid Demak]] berpangkat ''lurah ganjur''. Jaka Tingkir pandai menarik simpati [[Sultan Trenggana]] sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit [[Demak]] berpangkat ''lurah wiratamtama''.

Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan SADAK KINANG. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari [[Demak]].

Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro(saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke [[Demak]] bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.

Rombongan Jaka Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman [[buaya]] menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.

Saat itu [[Sultan Trenggana]] sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan Sultan di mana tidak ada prajurit yang mampu melukainya.

Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, [[Sultan Trenggana]] mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.

Kisah dalam naskah-naskah babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di [[Demak]], dan ia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan simpati Sultan kembali.

== Menjadi Sultan Pajang ==
Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam [[Babad Tanah Jawi]]. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati [[Pajang]] bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempa, putri [[Sultan Trenggana]].

Sepeninggal [[Sultan Trenggana]] tahun 1546, putranya yang bergelar [[Sunan Prawoto]] seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh [[Arya Penangsang]] (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan sholat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan adik Kandung Sultan Trenggono sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati [[Jepara]].

Kemudian [[Aryo Penangsang]] mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di [[Pajang]], tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan [[Arya Penangsang]].

Sepeninggal suaminya, [[Ratu Kalinyamat]] (adik [[Sunan Prawoto]]) mendesak Adiwijaya agar menumpas [[Aryo Penangsang]] karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi [[Aryo Penangsang]] secara langsung karena sama-sama anggota keluarga [[Demak]] dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.

Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh [[Aryo Penangsang]] akan mendapatkan tanah [[Pati]] dan mentaok/[[Mataram]] sebagai hadiah.

Sayembara diikuti kedua cucu [[Ki Ageng Sela]], yaitu [[Ki Ageng Pemanahan]] dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, [[Ki Juru Martani]] (kakak ipar [[Ki Ageng Pemanahan]]) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan [[Arya Penangsang]] setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.

Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke [[Pajang]] dengan Adiwijaya sebagai sultan pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Suan Prawoto yang menjadi Adipatinya

Sultan Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.

== Sumpah setia Ki Ageng Mataram ==
Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah [[Pati]] dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, [[Ki Ageng Pemanahan]] masih menunggu karena seolah-olah Sultan Adiwijaya menunda penyerahan tanah [[Mataram]].

Sampai tahun 1556, tanah [[Mataram]] masih ditahan Adiwijaya. [[Ki Ageng Pemanahan]] segan untuk meminta. [[Sunan Kalijaga]] selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan [[Sunan Prapen]] bahwa di [[Mataram]] akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran [[Pajang]]. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi sultan usai kematian [[Arya Penangsang]].

[[Sunan Kalijaga]] meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, [[Ki Ageng Pemanahan]] juga diwajibkan bersumpah setia kepada [[Pajang]]. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah [[Mataram]] pada kakak angkatnya itu.

Tanah [[Mataram]] adalah bekas kerajaan kuno, bernama [[Kerajaan Mataram]] yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. [[Ki Ageng Pemanahan]] sekeluarga, termasuk [[Ki Juru Martani]], membuka hutan tersebut menjadi desa [[Mataram]]. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. [[Ki Ageng Pemanahan]] yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke [[Pajang]] secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.

== Menundukkan Jawa Timur ==
Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah [[Jawa Tengah]] saja, karena sepeninggal [[Sultan Trenggana]], banyak daerah bawahan [[Demak]] yang melepaskan diri.

Negeri-negeri di [[Jawa Timur]] yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati [[Surabaya]]. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu [[Pajang]], [[Madura]], dan [[Blambangan]].

Pada tahun 1568 [[Sunan Prapen]] penguasa [[Giri Kedaton]] menjadi mediator pertemuan antara Sultan Adiwijaya dengan para adipati Bang Wetan. [[Sunan Prapen]] berhasil meyakinkan para adipati sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan [[Kesultanan Pajang]] di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.

Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan [[Madura]] setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.

Dalam pertemuan tahun 1568 itu, [[Sunan Prapen]] untuk pertama kalinya berjumpa dengan [[Ki Ageng Pemanahan]] dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa [[Pajang]] akan ditaklukkan [[Mataram]] melalui keturunan Ki Ageng tersebut.

Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.


== Pemberontakan Sutawijaya ==
[[Sutawijaya]] adalah putra [[Ki Ageng Pemanahan]] yang juga menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, [[Sutawijaya]] menjadi penguasa baru di [[Mataram]], dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.

Waktu setahun berlalu dan [[Sutawijaya]] tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan [[Mataram]]. Mereka menemukan [[Sutawijaya]] bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.

Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan [[Mataram]] semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan [[Sutawijaya]]. Kali ini yang berangkat adalah [[Pangeran Benawa]] (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati [[Tuban]]), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh [[Sutawijaya]]. Di tengah keramaian pesta, putra sulung [[Sutawijaya]] yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit [[Tuban]] yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan [[Sutawijaya]] sekeluarga.

Maka sesampainya di [[Pajang]], Arya Pamalad melaporkan keburukan [[Sutawijaya]], sedangkan [[Pangeran Benawa]] menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.

Pada tahun 1582 seorang keponakan [[Sutawijaya]] yang tinggal di [[Pajang]], bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.

Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan [[Sutawijaya]] meminta bantuan ke [[Mataram]]. [[Sutawijaya]] pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke [[Semarang]].

== Kematian ==
Perbuatan [[Sutawijaya]] itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang [[Mataram]]. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan [[Pajang]] bermarkas di [[Prambanan]] dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar [[Gunung Merapi]] tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan [[Pajang]] yang berperang dekat gunung tersebut.

Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam [[Sunan Tembayat]] namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.

Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung [[gajah]] tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di [[Pajang]], datang makhluk halus anak buah [[Sutawijaya]] bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.

Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci [[Sutawijaya]], karena perang antara [[Pajang]] dan [[Mataram]] diyakininya sebagai takdir. Selain itu, [[Sutawijaya]] sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.

Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.

== Pengganti ==
Sultan Adiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan [[Arya Pangiri]] bupati [[Demak]]. Arya Pangiri sebenarnya adalah anak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang menggantikan Sultan Trenggono menjadi Raja Demak.

[[Arya Pangiri]] didukung Panembahan Kudus (pengganti [[Sunan Kudus]]) untuk menjadi raja. [[Pangeran Benawa]] sang [[putra mahkota]] disingkirkan menjadi bupati Jipang. [[Arya Pangiri]] pun menjadi raja baru di [[Pajang]], bergelar Sultan Ngawantipura.

Sumber dari wikipedia

Tuesday, June 22, 2010

sedulur papat limo pancer

sedulur papat limo pancer

gunungan.jpgIng Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa. Kewan cacah papat mau nggambarake nafsu patang warna yaiku : Macan nggambarake nafsu Amarah, Bantheng nggambarake nafsu Supiyah, Kethek nggambarake nafsu Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake nafsu Mutmainah

SEDULUR PAPAT LIMA PANCER Njupuk sumber saka Kitab Kidungan Purwajati seratane, diwiwiti saka tembang Dhandanggula kang cakepane mangkene:
Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami Anekakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang Ing tembang dhuwur iku disebutake yen ” Sedulur Papat ” iku Marmati, Kawah, Ari-Ari, lan Getih kang kaprahe diarani Rahsa. Kabeh kuwi mancer neng Puser (Udel) yaiku mancer ing Bayi.wayangkulit.jpg

Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati, kakang Kawah, Adhi Ari-Ari lan Rahsa kuwi? Marmati iku tegese Samar Mati ! lire yen wong wadon pas nggarbini ( hamil ) iku sadina-dina pikirane uwas Samar Mati. Rasa uwas kawatir pralaya anane dhisik dhewe sadurunge metune Kawah, Ari-Ari lan Rahsa kuwi mau, mulane Rasa Samar Mati iku banjur dianggep minangka Sadulur Tuwa. Wong nggarbini yen pas babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune Banyu Kawah sak durunge laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa kang lumrahe diarani Kakang Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur disusul laire bayi, sakwise kuwi banjur disusul wetune Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari iku metune sakwise bayi lair, mulane Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan kasebut Adhi Ari-Ari Lamun ana wong babaran tartamtu ngetokake Rah ( Getih ) sapirang-pirang. Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu akhir, mula Rahsa iku uga dianggep Sedulur Enom. Puser (Tali Plasenta) iku umume PUPAK yen bayi wis umur pitung dina. Puser kang copot saka udel kuwi uga dianggep Sedulure bayi. Iki dianggep Pancer pusate Sedulur Papat. Mula banjur tuwuh unen-unen ” SEDULUR PAPAT LIMA PANCER ” Ing Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa.

Kewan cacah papat mau nggambarake nafsu patang warna yaiku : Macan nggambarake nafsu Amarah, Bantheng nggambarake nafsu Supiyah, Kethek nggambarake nafsu Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake nafsu Mutmainah kang kabeh mau bisa dibabarake kaya ukara ing ngisor iki: Amarah : Yen manungsa ngetutake amarah iku tartamtu tansaya bengkerengan lan padudon wae, bisa-bisa manungsa koncatan kasabaran ,kamangka sabar iku mujudake alat kanggo nyaketake dhiri marang Allah SWT. Supiyah / Kaendahan : Manungsa kuwi umume seneng marang kang sarwa endah yaiku wanita (asmara). Mula manungsa kang kabulet nafsu asmara digambarake bisa ngobong jagad. Aluamah / Srakah : Manungsa kuwi umume padha nduweni rasa srakah lan aluamah, mula kuwi yen ora dikendaleni, manungsa kepengine bisa urip nganti pitung turunan. Mutmainah / Kautaman : Senajan kuwi kautaman utawa kabecikan, nanging yen ngluwihi wates ya tetep ora becik.
Contone; menehi duwit marang wong kang kekurangan kuwi becik, nanging yen kabeh duwene duwit diwenehake satemah uripe dewe rusak, iku cetha yen ora apik. Mula kuwi, sedulur papat iku kudu direksa lan diatur supaya aja nganti ngelantur. Manungsa diuji aja nganti kalah karo sedulur papat kasebut, kapara kudu menang, lire kudu bisa ngatasi krodhane sedulur papat. Yen manungsa dikalahake dening sedulur papat iki, ateges jagade bubrah. Ing kene dununge pancer kudu bisa dadi paugeran lan dadi pathokan. Bener orane, nyumanggakake

BABAD TANAH JAWI

== Banyak versi ==

Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.

Menurut ahli sejarah [[Hoesein Djajadiningrat]], kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada [[1788]]. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh [[P. Adilangu II]] dengan naskah tertua bertarikh [[1722]].

Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah [[Jawa Kuno]] sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.

Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah [[HJ de Graaf]]. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun [[1600]] sampai zaman [[Kartasura]] di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun [[1580]] yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran [[mitologi]], [[kosmologi]], dan [[dongeng]].

Selain Graaf, [[Meinsma]] berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada [[1874]] ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.

Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.

GURU JATI

Pangandikaning Guru SEJATI

Dikutip dari buku ” TRI KAHONO LOKO ” Karya : S. Soerjosandjojo ( Guru Pemedjang ) asal desa Kebon Agung – Malang. Buku dicetak pada 1 Suro 1956.

1 Suro, Kamis Pahing 10 Januari 2008

Poro Sanak Kadang-koe kabeh yang Budiman,
Mari sama-sama kita Renungkan tentang ,

” PANGANDIKANING GURU SEJATI “

Kito iki urip kang diarani Jumeneng Manungso tinitah ing Alam Padhang ( Jagad Raya ). Kudu sumurup artining PATRAP TRAPING SUSILO ” ateges Toto Kromo, Toto, Titi, Titis,Nastiti, Ngati-ati,Duga-Prayogo, Temen,Sabar,Tawekal, Nerimo,Tatag,Ikhlas, Sumeleh,Hening,Heneng, Awas Heneng lan Eling serto Waspodho.

Ojo podho kleru tompo, sebab kabeh kuwi wus diatur dening ” PONCO DRIYO “.
Mungguh kito urip sipating Manungso asal soko DUMADI lan PAMBUDI…!!. Yo iku kang diarani PANGERAN SANYOTO kuwi tegese WUJUD kito YEKTI. Mulo soko iku kito jeneng wong kang NGAURIP, Lumaku satindak kudu ” NGAWERUHI HANANIRO “, ajo demen LELEMERAN, kudu SETYO TUHU marang GESANGIRO lan KAPITAYAN marang badaniro dhewe mungguh lungguhe AKU. Mulo ora gampang yo ora angel mungguh lakuning Manungso ( Jalmo ), sakbiso-biso ojo NYIDRANI JANJINIRO kang wus KAWIJIL.

Sabdo PANDHITO WATAK UTOMO :
Yen cidro temahing BILAHI. Kito temen bakal TINEMU. Kito BECIK KETITIK. Kito OLO KETORO.

Mulane mumpung kito isih GESANG ( urip ). Ayo podho NGUDI NGELMU kang SANYOTO ing endi lungguhing ELMU margane poro Sanak Kadang samiyo NGUDI TUWUH kudu TUMINDAK :
SAROJO, TRISNO, SETYO, TUHU, PRASOJO lan UTOMO Jerjering Manungso.

Hananing PAMBUDI margo soko DUMADI, Banjur biso muncul unen-unen sing diarani ” ELMU lan NGELMU ” dumunung ono ing PONCO DRIYO. Ponco Driyo iki kang biso ngukir SEKABEHING Kabudayan.
Mulo Jaman kuno makunaning diarani JAMAN KABUDAN. Banjur kuwi sakwuse kang aran Agomo BUDHA. Lah Budha iku ” BUDI sawise BUDI KABUDAYAN ” pokok sekabehing Kabudayan iku diatur dening PONCO DRIYO…!!

Sejatining kang aran AGOMO kuwi yo BUSONO, AGEMAN yo kang aran KUNCI SEJATI. Mulo ing kene kito aturake, mungguh ananing dumadi banjur hanane PANGERAN SANYOTO. Banjur ono tembung kang aran A, I, U, tegese AKU, IKI, URIP. Ananing URIP ono sing NGURIPI. Ananing AKU ( Kawulo ) sebab ananing GUSTI, yen yo ora GUSTI wis mesti ora ono Kawulo. Sawise mengko banjur kawijil ” ROSO-PANGROSO, biso MUNO lan MUNI, terus kabeh mau diatur dening PONCO DRIYO.

Ananing ELMU lan NGELMU, Sir Kawulo maneges marang Gusti banjur ono WUJUD MAKNA sing diarani SIDIKORO, MANEKUNG lan SEMEDI.

Punten..punten…
poro Sanak Kadang sedoyo calon-calon SP ( Satriyo Paningit )
Kang wus podho Winarah lan Winasis…Kang hamengku Bumi Nuswantoro. Semoga Bangsa dan Negara kita yang tercinta ini segera bangkit dari keterpurukan MORAL, karena kita-kita ini ( terutama adalah saya pribadi ) sudah bergeser menjadi sosok manusia yang LUPA dan LALAI akan ” Sangkan Paraning Dumadi ” sehingga telah menjadi manusia yang tidak menjadi DIRINYA SENDIRI karena kita-kita lupa pada KESUJATIAN DIRI.

Monday, June 14, 2010

KISAH SEJARAH JOKO PURING DAN RADEN SOEDJONO

raden joko puring dan raden soedjono

Pandan Kuning minangka salah sijine obyek wisata sing dikramatake dening masyarakat laut Petanahan. Pandan kuning saka tembung Pandan salah sijine wit-witan lan Kuning. Panggonan nyepi Pandan Kuning dijaga lan dirawat dening juru kunci kayata :

1. Mbah Kerti s.d 1947
2. Mbah Sanwiradi 1947 s.d 1965
3. Mbah Madrakis 1967 s.d 1975
4. Mbah Kramasentana 1975 s.d 1976
5. Mbah Sanwireja 1976 s.d 1993
6. Mbah Abdurrohman 1993 s.d sekarang

Raden Soedjono lan Dewi Sulastri minangka tokoh sing cukup legendaris babagan legenda Pandan Kuning. Legenda iki kawiwitan nalika Kerajaan Mataram pemerintahan Sutawijaya (1601). Nalika jaman pemerintahan Mataram kabagi dadi kabupaten-kabupaten kayata Kabupaten Pucang kembar, Bulu Pitu, Loano dll.
Bupati Citra Kusuma kang mbawahi Kabupaten Pucang kembar nduweni putra kang ayu rupane kang sesulih Dewi Sulastri. Bupati Pucang Kembar wis nyiapake calon garwa kanggo Dewi Sulastri, amarga pancen wis dadi padatan wektu semana yen jodho iku ditentokake wong tuwa, sanadyan tasih cilik. Joko Puring iku sing dadi pasangane Dewi Sulastri manggon ing Pucang kembar, lan deweke wis direngkuh kaya dene keluargane dhewe.
Kacarita ana ing sawijining dina ana nom-noman kang bagus rupane putrane Demang Wonokusumo saka Karang Gumelem, teka ing kono sak perlu arep suwito marang Bupati Citra Kusumo. Satekane Raden Soedjono agawe Bupati Citra Kusumo goreh atine, arep nampa pasuwitane Reden Soedjono apa ora. Ana ing kono Dewi Sulastri njaluk supaya kang rama nampa pasuwitane Raden Soedjono, ananging Joko Puring ora sarujuk amarga kebak rasa cubriya. Raden Soedjono bisa ketampa pasuwitane kuwi amarga karo syarat kang diajokake dening Joko Puring, bilih Raden Soedjono nyambut gawe minangka gamel (tukang golek suket) lan juru taman.
Ana ing wektu-wektu pasuwitane Raden Soedjono minangka gamel lan juru taman dheweke katarik marang latian keprajuritan, lan ana ing pungkasan dheweke mlebu dadi salah sijine prajurit. Ing sawijining dina Raden Soedjono ketemu karo Dewi Sulastri ana ing taman sari lan karo-karone padha ngandaraken katresnan. Adhi-adhine Dewi Sulastri kang sesulih Usmana lan Usmani mangerteni bab iku. Mila banjur ndadekake sulaya.
Rumangsa ora bisa ngalaheke Raden Soedjono, Usmana lan Usmani lunga wadul karo Joko Puring babagan Raden Soedjono lan Dewi Sulastri. Pasulayan Raden Soedjono karo Joko Puring ora bisa dipenggak maneh. Amarga krasa kalah Raden Soedjono mlayu saka pasulayan. Dheweke lunga marang Brangkal lan njaluk pangayoman marang Kyai Karyadi.
Jaka Puring ngoyak Raden Soedjono nganti tekan omahe Kyai Karyadi, nanging Raden Soedjono ora bisa ditemokake amarga umpetan ana ing lumbung pari. Amarga buronan ora bisa ditemokake, mila Joko Puring lan adhi-adhine padha bali tanpa kasil.
Sawise dirasa aman Kyai Karyadi ngundang Raden Sodjono lan nakokake apa sing sajatine kedaden. Raden Soedjono njlentrehake kabeh kedadeyan sing wis kadaden. Ana ing pungkasan dheweke njaluk pitedah kanggo ngepek bojo Dewi Sulastri supaya kaleksanan. Kyai Karyadi menehi pitedah supaya Raden Soedjono nyepi ana ing sangisore wit Lo kang ana ing desa Grenggeng.
Pungkasane Raden Soedjono tekan ana ing Grenggeng banjur nggoleki wit Lo kanggo nyepi. Kanthi persiapan lahir lan batin, uga kebak gegayuhan kaleksanan jiwa lan ragane. Kanthi tekad kang gedhe kanggo entuk Dewi Sulastri minangka bojo.
Wisiking angin rumesep ing kalbu Raden Soedjono. Kaprungu swara tanpo rupa, lan manahe bisa nampa swara kuwi.“Soedjono, sajatine kasenengan yaiku minangka kasil saka perjuangan. Yen kowe pengin entuk kasenengan kuwi, mila siapake awakmu kanggo nglakokake salah sijine dharma bekti marang wong kang wis nggedhekake kowe.”
Barang keprungu swara mau, Raden Soedjono banjur nyekar ana ing pesareane Panembahan Baribin. Ana ing semedine, Raden Soedjono entuk wisikan gaib supaya Raden Soedjono nerusaken nyepine ana ing kali Palemahan lan Kali Bantar sing ana ing tlatah Buayan murih bisa entuk Pusaka Gandik Kencana lan Bancet Kencana.
Pungkasane apa kang dilakokake Raden Soedjono kasil lan deweke bisa entuk pusaka Gandik Kencana lan Bancet Kencana kanggo ngalahake Joko Puring.
Kanthi sesingidan dheweke enggal-enggal menyang Pucang Kembar saperlu nemoni Dewi Sulastri, banjur nyritakake apa kang wis kadadeyan kanthi ngati-ngati. Sateruse Raden Soedjono prentah marang Dewi Sulastri, supaya Dewi Sulastri nyuwun marang kang rama kanggo nganakake giri patembaya.
Kaprungu panjaluke putra kang paling ditresnani mila Bupati Citro Kusumo ngumumake giri patembaya.
Sauntara ana ing wektu kuwi, Joko Puring njaluk supaya enggal-enggal didaupake karo Dewi Sulastri kang wis sawetara suwe dadi idham-idhaman ning atine. Kanggo nampik panjaluke Joko Puring, Dewi Sulastri nduweni panjaluk supaya karo-karone yaiku Raden Soedjono lan Joko Puring diedu.
Paprangan ora bisa dipenggak maneh. Kadigdayane Raden Soedjono nyata ana ing sangisore kadigdayane Joko Puring. Mangerteni menawa idhamaning ati bakal asor ing yuda, mila tanpa mikir dawa Dewi Sulastri langsung namakake pusaka Gendik Kencana, lan ora mleset ngenani awake Joko Puring. Joko puring kalah lan mlayu ninggalake arena uga ninggalake Pucang Kembar.
Amarga menang paprangan lan uga nduweni pusaka Gendik Kencana lan Bancet Kencana, Raden Soedjono bisa ngepek garwa Dewi Sulastri.
Sawise dhaupane Raden Soedjono karo Dewi Sulastri, adipati Citro Kusumo menehake kekuasaan marang Raden Soedjono. Dheweke nyingkir dadi Begawan kanthi sesulih Begawan Citro Kusumo. Ora sauntara suwe dheweke entuk layang saka mataram kang isine prentah kanggo numpas brandhalan ono ing Gunung Tidar. Ana ing tapane, Begawan Citro Kusuma entuk wangsit bilih kang bisa numpas brandhalan ora liya yaiku mantune dhewe kang sesulih Raden Soedjono. Kanthi rasa kang abot Begawan Citro Kusumo ngeculake Raden Soedjono.
Ora sawetara suwe Raden Soedjono tekan ing Gunung Tidar nalika wayah bengi. Ora nyangka yen Raden Soedjono bakal entuk lawan kang abot yaiku pimpinan garong ing Gunung Tidar. Paprangan gedhe kaleksanan, yaiku Raden Soedjono lan pimpinan garong Gunung Tidar. Ananging prayata yen kadigdayaan Raden Soedjono luwih dhuwur ketimbang brandal Gunung Tidar. Pimpinan garong Gunung Tidar kalah dening tangane Raden Soedjono.
Ing wengi kang peteng lelimengan Raden Soedjono tumungkul, dheweke migatekake rupane pimpinan garong Gunung Tidar. Rupa iku nyata banget cedhak ing ati lan pikirane, banget cedhak ing pangeling-eling. Pungkasane Raden Soedjono ora kuwawa mbendung rasaning ati. Pancen ora pantes yen sawijining priya nangis, nanging apa ya ana kang bisa mbendung atine yen sing mati mau kakang kandhunge dhewe kang sesulih Wirakusumo?
Prajurit lan pengawal Bupati Pucang Kembar ditata maneh amargo arep bali menyang Pucang Kembar. Wirakusumo dadi garong amargo iri karo adhi-adhine kang dadi Bupati Pucang Kembar lan Bupati Loano.
Bebarengan karo lungane Raden Soedjono menyang Gunung Tidar pawarta keprungu tekan Joko Puring. Ana ing njero ati Joko Puring tasih ana rasa tresna marang Dewi Sulastri. Bab iku kang nggawe Joko Puring golek wektu kanggo ngrebut rasa tresnane Dewi Sulastri maneh
Ana ing sisih liya, minangka temanten kang anyar, Dewi Sulastri krasa sepi amarga ditinggal dening wong kang ditresnani iku. Atine Dewi Sulastri nguntab-nguntab amarga kepengin cepet-cepet ketemu karo Raden Soedjono, mila dheweke gawe keputusan dhewe kanggo nyusul raden Soedjono ana ing Karang Gumelem. Apa kang dikarepake dening Dewi Sulastri dimangerterni dening Joko Puring. Mila saka kana Joko Puring nduweni maksud kanggo nguntit Dewi Sulastri. Ananging pranyata apa kang dikarepake dening Dewi Lestari ora katurutan. Raden Soedjono durung bali saka Gunung Tidar.
Ana ing satengahe lampahane Dewi Sulastri, dheweke dirayu dening Joko Puring kanthi basa kang nggrentesi manah supaya rasa kangen kang ana ing manah dewi Sulastri bisa kapadhu karo Joko Puring. Ananging Dewi Sulastri ora nyarujuki panjaluke Joko Puring, amargo kasetyan mujudake makuthaning wanodya. Dewi Sulastri arep diperjaya menawa ora gelem nglanggati sing dadi kekarepane Joko Puring. Joko Puring ngruda peksa. Dewi Sulastri arep digawa lunga menyang Wagir Pandan. Tangan lan sikil Dewi Sulastri ditaleni dening Joko Puring nganggo Godong Pandan
Kacarita Raden Soedjono wis tekan ana ing Karang Gumelem tanpa alangan sawiji apa lan ngrukti layone kakangeWirokusumo. Kang rama, Demang Wonokusumo maringi pamrayoga supaya Raden Soedjono enggal-enggal ngupadi Dewi Sulastri kang lagi nyusul nggoleki Raden Soedjono menyang Karang Gumelem. Ing satengahing marga Raden Soedjono ketemu Joko Puring kang lagi golek woh-wohan kanggo Dewi Sulastri. Joko puring kaget, lan kanthi rikat Joko puring nyaut Dewi Sulastri, kagendhong lon digawa mlayu nurut pinggiring segara kidul. Raden Soedjono banget anggone kaget mengerteni yen Dewi Sulastri digawa mlayu Joko Puring. Kanthi rikat dheweke mbedhul wit Pandhan lan diuncalake menyang Joko Puring kanthi dilambari kekuatan.
Joko Puring nggawa Dewi Sulastri menyang desa Karanggadung. Ana ing kana Dewi Sulastri ditinggal dening Joko Puring kanggo golek woh-wohan.
Ana ing wektu kuwi Raden Soedjono bisa nemokake Dewi sulastri lan saklorone bebarengan ana ing wit Pandan.
Ing wektu kuwi, makbedunduk Joko Puring teka kanthi nggawa woh-wohan kanggo Dewi Sulastri. Ananging sawise meruhi bilih ana ing sajejere Dewi Sulastri ana Raden Soedjono, mila ana kekarepan kanggo njaga dewi Sulastri supaya ora tiba maneh menyang tangane Raden Soedjono. Bab iku kaleksanan karo perang tandhing
Sawise paprangan wis sauntara suwe kaleksanan, pranyata kadigdayan Raden Soedjono luwih dhuwur ketimbang kadigdayan Joko Puring
Rumangsa yen Joko Puring ora bisa ngalahake Raden Soedjono mila Joko Puring mundur saka paprangan. Miturut legenda panggonan kang dienggo kaggo pelariane Joko Puring ninggalake jeneng-jeneng panggonan kayata : PADHAURIP, GUYANGAN, ALANG-ALANG AMBA, KEWARU, KARANG BOLONG, BUAYAN.
Raden Soedjono cepet-cepet nemoni Dewi Sulastri kanggo nyopot talenane. Ana bab kang aneh ana ing kana bilih tali kang kanggo ngiket Dewi Sulastri lan wit bekas sareane Dewi Sulastri malih warna dadi kuning. Mila panggonan mau diarani Pandan Kuning.
Ana ing sawijining dina nalika sakloron lagi bebarengan, ana ing kono katekan Nyi Roro Kidul lan ngomong bilih panggonan kang wis diwenehi jeneng Pandan Kuning arep didakekake panggonan kanggo singgah ana ing wektu-wektu kepungkur. Nalika Nyi Roro Kidul ninggalake sakloronan mau yaiku Dewi Sulastri la Raden Soedjono klambine Dewi Sulastri kang wis kucel digawa dening Nyi Roro Kidul.
Saka kono mila bajur metu kapercayan bilih sapa bae kang nyepi lan tapa ing papan kono nalika kekarepane kawujud, kedah ngganti klambi anyar kang wujud : jarik lurik, slendhang modhang, klambi warna ijo gadung. Sadurunge ngganti klambi Dewi Sulastri kudu kedah nyelehake : piranti kanggo paes, lenga wangi lan rokok kretek.

Wednesday, June 2, 2010

BAHASA

Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.